Kamis, 10 Mei 2012

Upacara Pemakaman (Rambu Solo') di Toraja

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan anisme politeistik yang disebut aluk, atau “jalan” (kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.Kedua ritual tersebut sama pentingnya.

Sumber: http://wikipedia.org
Radio
Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Upacara kematian ini disebut Rambu Solo’.
Rambu Solo’ merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau.  Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Sumber: http://wikipedia.org






Mayat Berjalan Sendiri Kekubur


Cerita ini sering saya dengar sewaktu masih kelas 2 SMA setelah pindah dari Maros, di Toraja setelah seseorang meninggal terkadang mayatnya tidak langsung di kuburkan melainkan disimpan sampai beberapa kebutuhan terpenuhi untuk acara penguburan, seperti dana, Kerbau, babi dan hal hal lainnya maklumlah, dalam acara penguburan adat Toraja, itu sangat sakral dan harus dilakukan dengan pesta yang besar besaran sebagai tanda penghormatan terakhir.

Tidak jarang mayat mayat tersebut disimpan sampai setahun atau bahkan lebih, sampai semua kebutuhan itu terpenuhi. dan cerita yang serunya adalah pada jaman dulu saat peralatan di daerah toraja ini belum terlalu hebat, mayat akan di beri mantra untuk berjalan sendiri sampai kekuburannya dan membaringkan dirinya sendiri, ini dimaksudkan agar memudahkan penguburan karena dalam adat banyak orang yang dikuburkan di kuburan gantung (kuburan yang digantung diatas tebing dan ada juga didalam goa di atas tebing yang tinggi)

cerita lainnya mengatakan bahwa adat mayat berjalan sendiri itu masih berlaku sampai sekarang. dan ada yang serem nih, ketika ritual menjalankan mayat tersebut sedang berlangsung seseorang  tidak boleh menegur mayat yang sedang berjalan itu

contoh: "Wow keren mayatnya bisa jalan", atau "wah itu mayat yah? (sambil menunjuk)"

Itu sangat dilarang.... kenapa? karena bisa bisa mantranya hilang, mayat bisa terjatuh dan mantra tidak bisa dimasukan lagi. :-D

Ok. ini percaya ngga percaya lho..... tapi saya tetap harus percaya, karena saya sendiri orang toraja trus di kampung bnyak yang menceritakannya. Ok untuk foto saya hanya bisa menyertakan yang dari Kaskus aja.... soalnya sekarang lagi di Manado jadi ngga bisa turun langsung kelapangan buat dokumentasi hahaaaha..

Selasa, 08 Mei 2012

Kerbau Termahal Di Dunia

     Tedong Bonga merupakan kerbau yang sangat memegang peranan penting dalam acara rambu solo' atau pesta orang meninggal di Tana Toraja. Kerbau ini dirawat layaknya seorang anak orang yang punya kerbau. setiap hari direndam di sungai dan dimandikan dengan sampo. makannya harrus dari rumput pilihan. Warnanya yang putih keabu-abuan dan hitam membuat kerbau jenis ini bernilai ratusan juta rupiah bahkan sampai 200-an juta rupiah.  Orang Toraja menyebutnya Tedong Bonga. Tedong Bonga ini hanya terdapat di Tana Toraja.

ragam corak dan kemulusan kulit yang konon menentukan harganya. Kerbau belang ini dihargai Rp.150 Juta. Itupun bukan harga tertinggi. Kerbau albino belang jenis bubalus bubalis atau kerbau lumpur di Toraja memang cantik. Harganya pun bisa mencapai Rp 350 juta, hampir setara mobil Mercy B 180.
Radio
Menurut Obed, kerbau belang yang berumur dua hingga tiga tahun harganya sangat tinggi. "Kerbau jenis ini untuk disembelih saat acara ritual pemakaman (kematian) bagi bangsawan di Mamasa. Biaya yang dibutuhkan pada acara ritual kematian bagi bangsawan sangat mahal sehingga mereka sejak dini melakukan pengembangan ternak kerbau belang untuk persiapan acara pesta ritual kematian bagi kalangan keluarga mereka," ujar Obed Nego.
Jika tak memiliki kerbau belang, keluarga itu harus segera mencari kerbau sejenis untuk disembelih dalam acara ritual itu. Menurut keyakinan masyarakat setempat, jika tidak menyembelih kerbau belang, arwah yang meninggal akan tetap ”gentayangan”. Adat itu sudah berlangsung turun-temurun dan menjadi suatu kewajiban bagi bangsawan untuk menyembelih kerbau belang.
<div align='center' id="container">
<a href="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer">Get the Flash Player</a></div>
<script type="text/javascript"src="http://www.shoutcheap.com/flashplayer/swfobject.js"></script>
<script type="text/javascript">
var s1 = newSWFObject("http://www.shoutcheap.com/flashplayer/player.swf",
"ply","200","20","9","#FFFFFF");
s1.addParam("allowfullscreen","true");
s1.addParam("allowscriptaccess","always");
s1.addParam("flashvars",
"file=http://37.187.79.153:49860/;stream.nsv&type=mp3&volume=50&autostart=true");
s1.write("container");
</script>



Senin, 07 Mei 2012

Kopi Toraja

Kopi toraja, biasa dikenal dengan sebutan kopi celebes kalossi, adalah kopi yang memiliki kandungan asam rendah dan memiliki body yang berat. Alasan inilah kebanyakan orang untuk mencari kenikmatan kopi toraja ini.


Kopi ini termasuk ke dalam jenis kopi arabica. Profilnya mirip dengan kopi Sumatera. Sebagian orang bilang, kopi Sulawesi dan kopi Sumatera memiliki rasa khas yang serupa, seperti rasa tanah dan hutan (sulit membayangkan bagaimana rasanya). Rasa tersebut muncul karena terpengaruh proses setelah biji kopi dipetik yang diambil dari nama kolonial Belanda untuk salah satu daerah di Sulawesi.


Aroma wangi kopi langsung tercium ketika membuka kemasan kopi toraja yang telah jadi. Rasa pahitnya berbeda dengan kopi lainnya. Rasa tanah ini justru menjadi nilai lebih kopi toraja. Beberapa jenis kopi meninggalkan rasa pahit cukup lama di mulut, namun tidak dengan kopi toraja ini. Rasa pahitnya langsung hilang.


Di tanam di lereng-lereng Gunung


Tana Toraja adalah sebuah kabupaten di pegunungan Sulawesi Selatan, berjarak 300 kilometer dari Makassar, Ibukota provinsi. Meski tak setenar Toraja yang sudah terkenal, akan tetapi ternyata di daerah-daerah sekitarnya juga memiliki potensi yang cukup menggembirakan. Salah satunya adalah produsen kopi bermutu.


Kopi Toraja yang dikenal oleh masyarakat luas sekarang ini bahkan sampai ke luar negeri, sebagian besar ditanam di perkebunan milik penduduk di lereng-lereng gunung. Inilah yang menjadi keunggulannya bahwa orang Toraja dikenal mampu memelihara tradisi yang sudah berumur ratusan tahun. Seperti salah satunya upacara pemakaman ‘Rambu Solo’ yang mengundang wisatawan dalam maupun luar negeri. Nah, untuk proses penanaman dan pengolahan kopi ini juga melalui tradisi yang berumur ratusan tahun dan tetap dijaga hingga sekarang ini.


Pengolahannya tradisional dengan menggoreng sampai hitam, hingga matang. Cara penggorengan sampai hitam itu akan menghilangkan karakter asam kopi. Namun cara pengolahan ini lantas dirubah oleh pengusaha dari Jepang.


Go international


Perjalanan kopi ini hingga bisa go international bukannya gampang, melalui proses panjang. Pada awalnya Pemerintah Kolonial Belanda mengetahui keberadaan “harta karun” ini. Mereka sempat membuka perkebunan kopi seluas 300 hektar dan menamainya Kalosi Celebes Coffee, namun tidak berlanjut mulus. Kemudian masuklah Jepang ke Indonesia. Dengan masuknya Jepang di Indonesia, biji kopi ini sempat diperkenalkan ke negara itu sendiri.


Pada 1973, Hisashi Ohki –Wakil Presiden Direktur Kimura Coffee, sebuah perusahaan kopi Jepang– datang ke Indonesia. Pedalaman Ballokan, Tana Toraja yang merupakan perkebunan kopi bekas peninggalan Belanda dipelajarinya dengan seksama. Dia meyakini industri kopi Toraja akan bangkit kembali di dunia internasional jika prasarana di daerah itu dibenahi. Apalagi ada kerjasama dari masyarakat. Pada tahap awal, Ohki membangun perkebunan kopi seluas seribu hektar di Pedamaran dan lima ratus hektar di Bollokan.


Pada 1976, terbentuklah PT Toarco Jaya, usaha kerjasama Jepang dan Indonesia, berpusat di Ujung Pandang, ibukota Sulawesi Selatan. Toarco kependekan dari Toraja Arabica Coffee. Dengan berdirinya usaha dua negara ini, maka dimulailah persemaian benih untuk rencana penanaman seratus hektar. Warga setempat pun direkrut untuk proyek ini. Kualitas kopi Indonesia pun dirubah termasuk cara pengolahannya dan mengatur kalorinya menggunakan komputer saat menggoreng.


Dua tahun kemudian, kopi Toarco Toraja mulai dipasarkan di Jepang. Penjualannya melebihi perkiraan. Dan bahkan sampai keluar Jepang. Di daerah asalnya, panen kopi panen berangsur-angsur meningkat. Jumlah perkebunannya pun makin diperluas. Seluruh proses dikerjakan oleh perusahaan: pemeliharaan, pemetikan, pemrosesan hingga pengiriman. Tujuannya untuk menjaga kestabilan mutu kopi. Selama ini, sudah banyak jenis kopi Toraja yang beredar di pasaran, namun belum ada standar mutu.


Pada 1984, Pemerintah Indonesia meminta Toarco menyerahkan contoh biji kopi untuk dijadikan standar baku seluruh produsen kopi dalam negeri. Ini menjadi salah satu titik penting bagi peningkatan kualitas industri kopi Indonesia. Selama ini, kopi Toraja yang beredar belum melalui standarisasi mutu.


Jika sebelumnya Toarco hanya dibuat untuk konsumsi Jepang, maka pada 1995 kopi ini pun dijual di tanah air. Mutu bahan bakunya sama dengan kopi Toarco Toraja yang dijual di Jepang. Namun penggongsengannya lebih lama disesuaikan dengan selera konsumen di Indonesia.


Kini, dengan standar yang sebagian besar sudah baku, dengan mudah akan menemukan kopi Toraja berkualitas baik dimana saja. Bahkan, pemerintah daerah kini sedang mengembangkan lahan 1200 hektar untuk pengembangan kopi organic di Kecamatan Sesean dan Rindingallo di Toraja Utara. Di daerah lain, seperti Enrekang dan Pegunungan Latimojong, juga akan dikembangkan pula usaha serupa.